Minggu, 09 November 2014

Westerling pun Tersenyum

Judul: 
Tragedi Westerling, Sang Pembantai Rakyat Indonesia

Penulis:
Agus N. Cahyo

Penerbit:
Palapa

Tahun:
Cetakan Pertama, April 2014

Jumlah Halaman:
138

ISBN:

9786022791270



“Tragedi Westerling: Sang Pembantai Rakyat Indonesia” merupakan buku yang menceritakan sejarah Indonesia usai proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pembantaian ini bermula setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, dan Belanda ingin menduduki kembali negara bekas jajahannya, yaitu Indonesia.

Namun, datangnya Belanda usai Jepang menyerah kepada Sekutu mendapat penolakan dan perlawanan dari rakyat Indonesia yang mencurigai adanya kepentingan dari pihak Belanda. Akhirnya terjadi peperangan di mana-mana, kontak senjata dan diplomasi dilakukan demi mempertahankan bumi pertiwi.

Buku “Tragedi Westerling: Sang Pembantai Rakyat Indonesia”, dilihat dari judulnya saja sudah membangkitkan ketegangan bagi pembaca. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “Tragedi” memiliki arti sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal). Dari judul ini sudah dapat menggambarkan kekejaman dan kesadisan yang dilakukan Westerling terhadap korbannya, yaitu rakyat Indonesia.

Bahkan sepenggalan lirik lagu Iwan Fals yang berjudul “Pesawat Tempurku” juga menggunakan kalimat “Westerling pun Tersenyum” yang menggambarkan kondisi pemerintahan Indonesia pada masa orde baru di bawah kepemimpinan Soeharto yang acuh tak acuh melihat rakyat yang sengsara seperti Westerling yang tidak memiliki belas kasih.

Sebelum masuk ke dalam topik utama buku ini, penulis memberikan ‘pintu masuk’ yang saya katakan tepat. Di awal ulasannya penulis memberikan penjabaran terlebih dahulu mengenai awal-mula konflik yang terjadi antara Indonesia dan Belanda. ‘Pintu masuk’ ini yang menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara konflik Indonesia-Belanda, dan mengapa Westerling datang ke Indonesia.

Beberapa ulasan mengenai konflik Indonesia-Belanda dijelaskan penulis dengan singkat, padat dan jelas. Penulis menceritakan kisahnya tidak bertele-tele. Sehingga pembaca tidak cepat merasa bosan.

Perjuangan melalui diplomasi juga dibahas dalam buku “Tragedi Westerling: Sang Pembantai Rakyat Indonesia”. Setidaknya ada 8 perjuangan diplomasi yang diulas dalam buku ini. Semuanya disajikan dengan singkat dan jelas, karena buku ini langsung menjelaskan ke pokok persoalan. Sehingga dengan membaca 8 perjuangan melalui diplomasi ini, pembaca tidak cepat merasa jenuh.

Menurut saya, dalam buku ini masih banyak penggunaan kata yang keliru untuk penempatannya di awal kalimat. Seperti yang terdapat pada halaman 36 & 37, beberapa awal kalimatnya menggunakan kata “Di”. Sebaiknya untuk penulisan di awal kalimat tidak menggunakan kata depan “Di”

Ada beberapa kata pula yang menurut saya ada baiknya jika penulis memberikan penjelasan atau keterangan mengenai kata itu. Contohnya saja kata “kontraspionase” (hal. 39, baris ke-3), karena tidak semua pembaca memahami kata tersebut.

Terdapat pula kalimat yang rancu, seperti “Yang dapat diterima menjadi anggota pasukan para tidak boleh melebihi tinggi 1,85 m, dan berat badan tidak lebih dari 86 kg” (hal 39, paragraf terakhir). Sebenarnya apa pengertian “para” yang dimaksud penulis? Jika para adalah nama dari pasukan seharusnya awal hurufnya menggunakan huruf kapital.

Selain itu juga penulis seperti tidak konsisten dalam penulisannya, seperti “pasukan para” (hal 39, paragraf terakhir), “Pasukan Para” (hal. 40, paragraf 2), “pasukan Para” (hal. 40, paragraf 2, baris 4). Sebenarnya yang mana penulisan yang benar?

Penggunaan kata “karena” di awal kalimat menurut saya kurang tepat. Seperti yang ada pada halaman 44 baris pertama. Penulis menggunakan kata “karena” di awal kalimatnya. Seharusnya kata "karena" digunakan ditengah kalimat sebagai kata penghubung.

Dalam Bab 4 yang menjelaskan “Tragedi Berdarah Pembantaian Westerling” menurut saya isinya terlalu singkat dan kebanyakan menjelaskan jumlah korban pembantaian Westerling. Padahal isi ini adalah yang dinantikan pembaca, akan lebih menarik jika penulis dapat lebih mendeskripsikan kekejaman yang dilakukan Westerling secara lengkap, karena ini merupakan Bab yang menjelaskan topik utamanya. Harusnya klimaks bisa lebih terasa pada Bab 4 ini.

Pada halaman 64 buku ini menjelaskan perbandingan Westerling dengan Adolf Hitler yang menurut saya tidak terlalu penting untuk diulas. Apabila perbandingan ini dihilangkan dan porsi mengenai kekejaman Westerling ditambah maka ceritanya akan lebih menarik.

Ada beberapa kutipan menarik dalam buku ini, “Saya bertanggung jawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata Westerling.

“Saya bertanggung jawab pada perbuatan saya, tapi orang harus dapat membedakan antara kejahatan perang dengan langkah tegas, konsekuen, dan adil dalam keadaan yang sulit.” Westerling menambahkan, “Sadisme yang tersembunyi dalam diri orang lebih cepat mekar dalam keadaan perang ketimbang dalam situasi normal.”

Itulah beberapa kalimat yang sempat diutarakan oleh Westerling. Dari kalimat itu sudah menimbulkan gambaran bagaimana kejamnya Westerling pada saat ia memimpin pasukan untuk membantai rakyat Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar